Kamis, 27 November 2008

Fitoremediasi Pustaka

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Minyak Bumi
Minyak bumi adalah campuran kompleks dari berbagai hidrokarbon. Hidrokarbon yang terkandung berupa hidrokarbon jenuh terutama alkana rantai lurus, sejumlah kecil alkana rantai bercabang yang berbobot molekul rendah, sikloalakana, dan aromatik. Ditinjau dari struktur molekulnya, persenyawaan hidrokarbon dapat digolongkan atas empat jenis, yaitu parafinik atau alifatik, naftenik, aromatik dan Olefin (Kontawa, 1993). Minyak bumi diperkirakan dihasilkan dari endapan minyak organik sedimen atau batuan sedimen di dasar laut yang dalam (Molnar dan Olah, 1995).
Minyak bumi diperoleh melalui pengeboran, pada proses pengeboran minyak tersebut terdapat hasil sampingan berupa limbah minyak bumi (oil sludge). Oil sludge merupakan hasil sampingan pengeboran minyak yang menimbulkan bau dan lebih dikenal masyarakat sebagai tahi minyak. Peraturan Pemerintah No. 7/2003 memasukkan oil sludge dalam kategori limbah B3 yang melarang produsennya menyimpan limbah tersebut dalam jangka waktu lama tanpa adanya pengolahan. Batas waktu maksimal adalah 90 hari sejak limbah dihasilkan untuk mengubahnya menjadi komponen-komponen yang tidak berbahaya. Analisis contoh limbah minyak yang diolah mempunyai persyaratan nilai akhir untuk kandungan total petroleum hidrokarbon (TPH) sebesar 10.000 µg/g atau sekitar 1% (Edvantoro, 2003 ; PT. Caltex Pacific Indonesia, 2003).
Beberapa kasus timbunan limbah lumpur minyak bumi yang berupa endapan sering terdeposit di dalam tangki penyimpangan minyak beberapa industri perminyakan. Seperti PT. Caltex Pacific Indonesia yang telah beroperasi semenjak tahun 1936 menghasilkan lumpur minyak bumi sebanyak 650 m3 hari-1. Peringkat kedua ditempati PT. UNOCAL yang memproduksi lumpur minyak bumi 500 m3 hari-1 sementara di Balongan dan di Plaju masing-masing 400 m3 hari-1 dan 500 m3 hari-1. Pertamina (UP) Unit Pengolahan IV Balongan Indramayu merupakan salah satu industri perminyakan yang berpotensi menghasilkan lumpur minyak bumi. Pertamina UP IV yang pertama kali menggunakan proses RCFC (Residual Catalitic Fluid Cracking) yang dapat memecahkan residu molekul hidrokarbon besar menjadi lebih kecil dengan bantuan katalis kimia. Dengan proses tersebut, Pertamina menghasilkan sekitar 8300 BSPD (Barrel Stream Per Day) produk minyak dengan limbah mencapai 20 ton hari-1 , biaya pengolahan limbah tersebut diperkirakan 2-3 juta rupiah per ton (Djuaningsih, 1997).
Limbah minyak terdiri atas bermacam-macam senyawa diantaranya berupa hidrokarbon ringan, hidrokarbon berat, pelumas dan bahan ikutan dalam hidrokarbon (Shaheen, 1992). Limbah ini dapat berasal dari :
(1) Tumpahan dan ceceran minyak selama kegiatan pengeboran, produksi pengilangan dan transportasi.
(2) Rembesan minyak dari reservoarnya.
(3) Ceceran dan tumpahan minyak selama pemuatan maupun pembongkaran di pelabuhan.
(4) Tumpahan minyak dari kebocoran maupun limbah tengker/kapal.
(5) Minyak bekas atau minyak apkir.
(6) Limbah dari kegiatan lain.
Lumpur minyak bumi dapat menimbulkan efek negatif terhadap makhluk hidup. Dampak negatif tersebut disebabkan karena kandungan senyawa penyusun minyak yang didominasi oleh senyawa hidrokarbon yang bersifat toksik. Toksisitas hidrokarbon minyak bumi ditentukan oleh dekomposisi dan kandungan senyawa penyusunnya. Efek toksisitas dibagi ke dalam dua kelompok yaitu efek toksisitas terhadap manusia (human toxicity) dan efek toksisitas terhadap ekologis (ecotoxicity) (Van Eyk, 1997). Tiap tahun, kira-kira 40.000 barrel atau setara dengan 1.680.000 galon minyak mentah tumpah di daratan akibat kerusakan pipa saluran (Salanitro dalam Hueseman, 2004). Lebih kurang 112.000 kg minyak mentah tumpah ke laut dalam proses produksi, transportasi, rafineri, dll sehingga menimbulkan kerusakan ekonomi dan estetika, membunuh burung dan berbagai bentuk kehidupan laut (Lestari, 2003). Menurut Connel dan Miller (1995), senyawa hidrokarbon minyak bumi memiliki karakteristik toksik, karsinogenik, mutagenik, dan berpotensi untuk terakumulasi dalam rantai makanan dan jaringan lemak manusia yang dapat menyebabkan terjadinya keracunan saraf/neurotoxicity (Watts, 1997 ; Eweis et al., 1998) sedangkan pengaruh hidrokarbon dari tumpahan minyak mentah (crude oil) terhadap tanaman dapat mengganggu germinasi biji dan menyebabkan ketidaknormalan pertumbuhan sel dan stomata tanaman.
2.2. Fitoremediasi
Berawal pada pertengahan tahun 1990-an, seorang Professor Agronomi dari Universitas Purdue menanam rumput sejenis St. Augustine dan rye (gandum hitam) di lahan pertanian terkontaminasi minyak bumi. Perusahaan minyak telah melakukan pembersihan tetapi banyak kontaminan bersifat karsinogen yang disebut polynuclear aromatic hidrokarbon (PAHs) yang tertinggal di dalam tanah. Inilah pertama kalinya teknik fitoremediasi digunakan dalam membersihkan sisa-sisa minyak pada lahan pertanian. Teknik ini berhasil dengan baik. Dua tahun kemudian 75% kontaminan berhasil dibersihkan (Gardiner, 2004).
Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang muncul berdasarkan gabungan kegiatan tanaman dan asosiasinya dengan komunitas mikroorganisme untuk menurunkan, memindahkan, menginaktifkan atau mengurang i bahan beracun di dalam tanah (Truu et al., 2003). Sejalan dengan itu, menurut Chappel (1997), fitoremediasi adalah menggunakan secara langsung tanaman hidup untuk mendegradasi dan meremediasi tanah, lumpur, sedimen dan perairan yang tercemar secara in situ. Remediasi menggunakan tanaman pada tanah terkontaminasi merupakan suatu proses yang disebut degradasi di rhizosfer, yang meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah terutama pada akar tanaman untuk memecah hidrokarbon (Tischer dan Hubner, 2002). Fitoremediasi dapat digunakan untuk membersihkan logam, pestisida, pelarut minyak mentah, PAH, dan limbah cair yang dihasilkan oleh sebuah tempat penampungan sampah. Berdasarkan etimologinya, fitoremediasi berasal dari bahasa Yunani/greek, phyton yang berarti tumbuhan/ tanaman (plant) dan remediation berasal dari kata latin remediare (to remedy) yaitu berarti memperbaiki, atau menyembuhkan atau membersihkan sesuatu.
Menurut Oppelt (2000) terdapat beberapa proses yang berkaitan dengan fitoremediasi. Proses - proses tersebut antara lain yakni :
1. Fitoekstrasksi yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi di sekitar akar tumbuhan, proses ini juga disebut hiperaccumulation.
2. Rhizofiltrasi (Rhizo = akar) adalah proses adsorbs atau pengendapan zat-zat kontaminan pada akar (menempel pada akar).
3. Fitostabilisasi yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan dibawa oleh aliran air dalam media.
4. Rhizodegradasi/fitostimulasi (enhanced rhizosphere biodegradation) yaitu penguraian zat-zat kontaminan dengan aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri.
5. Fitodegradasi (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tanaman itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar di sekitar perakaran dengan bantuan enzim berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi.
6. Fitovolatilisasi yaitu proses menarik dan transpirasi zat-zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi utnuk selanjutnya diuapkan ke atmosfer.

Gambar 1. Ilustrasi alur proses fitoremediasi.
Beberapa keuntungan fitoremediasi diantaranya, yaitu potensial untuk diaplikasikan, aman untuk digunakan, dampak negatif relatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna, biaya operasi relatif murah, mampu mereduksi volume kontaminan, serta memberikan keuntungan langsung bagi kesehatan masyarakat (Rismana, 2001). Adapun keterbatasan fitoremediasi adalah terutama yang berhubungan dengan batasan konsentrasi kontaminan yang dapat ditolerir oleh tumbuhan, masalah kebocoran kontaminan yang sangat larut dalam air dan lamanya waktu yang diperlukan pada fitoremediasi tanah yang tercemar (Subroto, 1996).
Beberapa pedoman untuk memilih jenis tanaman yang dapat digunakan dalam fitoremediasi adalah mampu mengikat air dalam jumlah besar, cepat tumbuh pada semua musim dan terus-menerus tumbuh pada musim - musim awal penanaman, mudah ditumbuhkan, kedalaman dan distribusi rhizosfer sesuai dengan daerah yang tercemar, mampu bertahan pada kondisi kering dan basah, tanaman atau rhizosfer mempunyai enzim degradatif yang tepat dan mampu melakukan bioakumulasi bahan pencemar (Kanian dan Hannigan, 2002). Metode fitoremediasi sangat efektif digunakan di lapangan dalam skala besar (luas) dengan biaya yang relatif murah. Keberhasilannya sangat tergantung pada jenis polutan, jenis tanaman dan rekayasa lingkungan serta lamanya waktu dalam proses tersebut. Belakangan konsep fitoremediasi tersebut telah diaplikasikan untuk penanganan masalah pencemaran tanah. Salah satu diantaranya yakni penanganan masalah lumpur minyak bumi (sludge oil) dengan Fitoremediasi menggunakan tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L).

2.3. Azotobacter sp.
Azotobacter sp. merupakan bakteri non sombiotik yang mampu menfiksasi nitrogen dari udara yang dapat ditemukan pada beberapa jenis tanah (Mengel dan Kirby, 1987). Definisi lain mengatakan Azotobacter sp. adalah bakteri yang hidup bebas dan tumbuh baik pada media yang bebas nitrogen. Spesies dari genus Azotobacter sp. terdiri dari A. chroococum, A. nigricans, A. beijerinckii, A. paspali dan A. vinelandii (Holt et al., 1994 dalam Hasbi, 2004).
Karakterisitik genus Azotobacter sp. dapat menghasilkan senyawa ekstraseluler dalam kuantitas tinggi. Karakteristik produk ekstraseluler yang dihasilkan beragam dari struktur dan komponen penyusunnya, mulai dari bentuk lendir (slime) sampai ke dalam bentuk cyste yang berupa alginat dan polisakarida. Genus Azotobacter sp. juga dapat mengekskresikan senyawa-senyawa biostimulan seperti tiamin,, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, nikotin, indole acetic acid, giberelin dan asam pantotenat (Subba Rao, 1987).
Penambahan atau inokulasi Azotobacter sp. dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen tanah telah sering dilakukan namun dengan hasil yang bervariasi, bahkan kadang-kadang tidak meningkatkan hasil tanaman. Kondisi tersebut sangatlah logis mengingat kontribusi rizobakteri hidup bebas pada nitrogen tanah hanya sekitar 15 kg N/Ha/tahun yang jauh lebih rendah daripada kontribusi bakteri pemfiksasi nitrogen simbiosis mencapai 24-584 kg/N/ton (Shantharam dan Matto, 1997).
Namun demikian, upaya untuk mempertahankan kesehatan tanah sekaligus produktifitas tanaman dengan inokulasi Azotobacter sp. perlu dilakukan karena rizobakteri ini berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman melalui produksi fitohormon yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Azotobacter sp. yang diberikan ke dalam tanah mampu mensintesis substansi yang secara biologis aktif, seperti vitamin B dan asam-asam indol asetat (Baon, 1986). Menurut Meshran dan Shende (1992), asam indol asetat mampu meningkatkan permeabilitas sel akar sehingga meningkatkan eksudasi akar. Peningkatan eksudasi akar merangsang perkecambahan spora atau pertumbuhan hifa mikoriza ke dalam akar. Azotobacter sp. merupakan salah satu rizobakteri yang dikenal sebagai PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yaitu bakteri yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman karena mampu memfiksasi nitrogen dan memproduksi fitohormon, antara lain auksin (IAA), sitokinin, dan giberelin (GA) (Hinderdsah dan Simarmata, 2004). Salah satunya adalah Azotobacter chroococum AC04 mampu menggunakan berbagai jenis sumber karbon (dari mono sampai polisakarida), asam organik dari alifatik maupun aromatik asam lemak, etanol, manitol, aseton, dan beberapa asam organik volatil (Mishustin dan Shilnikova dalam Subba Rao, 1987). Bakteri ini juga memilki potensi untuk mengekresikan berbagai senyawa eksopolisakarida (EPS) dan asam organik (Vermani et al.,1997). Eksopolisakarida dapat berfungsi sebagai biosurfaktan yang dapat meningkatkan biodegradasi limbah minyak bumi (Iwabuchi et al., 2002) sedangkan asam lemak berfungsi sebagai biosurfaktan karena merupakan senyawa amfifatik yang memiliki gugus liofobik dan liofilik.
Bakteri ini juga banyak digunakan sebagai pupuk hayati atau komponen di dalam pupuk organik karena mampu menfiksasi nitrogen dan memproduksi fitohormon (Hindersah et al., 2000). Selain itu, Azotobacter sp. pun dapat melarutkan fosfat, menghasilkan bahan antibiotik yang mengendalikan atau menekan sejumlah bakteri, jamur, dan virus penyakit tanaman (Taller dan Wong, 1989).
2.4. Mikoriza
Mikoriza adalah suatu bentuk asosisasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu (Subiksa, 2002). Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksinya terhadap tumbuhan inang, mikoriza digolongkan ke dalam dua tipe yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Subba Rao, 1994). Pada ektomikoriza, jaringan hifa cendawan tidak sampai masuk ke dalam sel tetapi berkembang diantara sel korteks akar membentuk struktur khas yang berbentuk oval yang disebut vesikula dan sistem percabangan hifanya yang disebut arbuskular, sehingga endomikoriza disebut juga Vesikular Arbuskular Mikoriza (VAM) (Subiksa, 2002). Endomikoriza yang telah ditemukan terdiri atas 5000 spesies sedangkan ektomikoriza 150 spesies (Marx, 2002).



Gambar 2. Mikoriza arbuskular Vesikular.
Vesikular Arbuskular Mikoriza termasuk dalam golongan endomikoriza dimana tipe ini memiliki daerah sebaran yang amat luas, sedangkan tipe lainnya daerah sebarannya terbatas. CMA sendiri mendapatkan keuntungan karena sifatnya yang obligat dimana dapat melengkapi daur hidupnya dengan adanya tanaman inang dan mendapatkan pasokan karbon dari tanaman (Smith dan Read, 1997). Sebagian karbon yang ditranslokasikan ke CMA kemudian akan dialirkan ke rizosfir. Karbon tersebut kemudian dimanfaatkan oleh berbagai mikroba untuk menjalankan daur biogeokimia dalam tanah termasuk pembentukan dan pemeliharaan struktur tanah (Rilig dan Mummey, 2006). Peningkatan agregasi tanah akan berdampak positif terhadap pergerakan udara dan air sehingga secara tidak langsung juga dapat menekan terjadinya erosi. Keberadaan simbiosis mikoriza dengan demikian akan mendatangkan manfaat bagi tanah dan lingkungan.
Simbiosis mikoriza mendatangkan manfaat pada banyak pihak, ketika menginfeksi dan mengkolonisasi akar tanaman inang, CMA mengembangkan miselium eksternal yang menghubungkan akar dengan lingkungan di sekelilingnya. Salah satu pengaruh yang paling utama dari adanya simbiosis mikoriza adalah peningkatan serapan unsur hara seperti P, K, Zn, Cu, dan Fe dan penurunan serapan Na sehingga tanaman terhindar dari keadaan unsur garam berlebih (Al-Karaki, 2006 ; Satter et al., 2006), Selain itu, simbiosis CMA juga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim (Cho et al., 2006), membantu akumulasi zat-zat unsur-unsur yang beracun bagi tanaman seperti As, Cr, Pb, Cs dan U (Lins et al., 2006 ; Vogelmikus et al., 2005), melindungi tanaman dari serangan patogen penyebab penyakit (Mchugh et al., 2005), membantu meningkatkan pertumbuhan daun dan kualitas buah (Subramanian et al., 2006).
Salah satu Manfaat penting lainnya dari inokulasi mikoriza adalah kemampuannya untuk mendegradasi dan mendetoksifikasi senyawa hidrokarbon, serta memfasilitasi pergerakan mineral dari dalam tanah menuju tanaman sehingga senyawa toksik dominan terakumulasi di perakaran (Salt dalam Rossiana dan Supriatun, 2004). Tanaman Ficus sp. yang diinokulasi cendawan mikoriza arbuskular (CMA) dapat menurunkan kandungan TPH tanah media tanam sebesar 37,6% selama 6 bulan, dan P. javanica yang diinokulasi CMA dapat menurunkan kandungan TPH zeolit media tanam sebesar 22,3% selama 5 bulan (Ervayenri, 2005). CMA tidak dapat menghasilkan karbon sendiri tanpa tanaman. Oleh karena itu, peran CMA dalam fitoremediasi dapat memberikan efek tidak langsung pada tanaman, kontaminan dan sistem tanah. CMA diketehui dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap berbagai stress termasuk hara, kekeringan, logam, salinitas dan pathogen, yang semuanya mempengaruhi hidup tanaman di tanah terkontaminas (Afrianty, 2007)
Menurut Smith dan Read (1997) bahwa CMA dapat mengurangi keracunan logam berat maupun hidrokarbon pada tanah-tanah yang terkontaminasi minyak bumi dengan kata lain bahwa mikoriza ini dapat digunakan dalam bioremediasi (Bioremediation). Mikoriza berfungsi sebagai bio-protektor terhadap patogen tanaman, bio-remediator bagi tanah-tanah tercemar logam berat dan membantu pertumbuhan tanaman pada tanah tercemar logam berat dan senyawa hidrokarbon (Pfleger dan Linderman., 1994 ; Suryatmana., 2004). Hal ini juga senada dengan pendapat Khan (2006), bahwa CMA yang bersimbiosis dengan akar tanaman juga berperan sebagai biofertilisier, bioprotektan dan biodegradator.

2.5. Jarak Pagar (Jatropha curcas L)
Sejak kenaikan harga minyak tahun 2005, pemerintah Indonesia sudah menetapkan minyak dari jarak pagar (Jatropha curcas L) untuk substitusi minyak diesel (biodiesel). Pada skala nasional, melalui Instruksi Presiden No. 5 tahun 2006 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar, jarak pagar menjadi komoditi unggulan bahan baku biodisel yang diharapkan menjadi sumber energi alternatif ramah lingkungan dan memberikan keuntungan ekonomis kepada petani.
Minyak yang dihasilkan dari jarak pagar sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif . Sebagai perbandingan, bahan baku minyak diesel adalah hidrokarbon yang mengandung 8 -10 atom karbon per molekul, sementara hidrokarbon yang terkandung pada minyak jarak pagar adalah 16-18 atom karbon per molekul sehingga viskositas minyak jarak lebih tinggi (lebih kental) dan daya pembakarannya sebagai bahan bakar masih rendah. Oleh sebab itu, agar minyak jarak pagar dapat digunakan sebagai bahan bakar (biodiesel) maka diperlukan proses transesterifikasi. Selain itu, bila dibandingkan dengan bahan bakar diesel/solar, biodiesel bersifat ramah lingkungan, dapat diperbaruhi (renewable), dapat terurai (biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin, mampu mengeliminasi efek rumah kaca dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. (Hambali et al.. 2006). Selain sebagai penghasil biodiesel, rangkuman hasil-hasil penelitian penggunaan minyak jarak pagar juga telah disusun oleh Gubitz et al., (1999) ; minyak jarak pagar essensial untuk mengendalikan hama-hama Helicoverpa armigera pada kapas, Sesamia calamatis pada sorgum dan Sitophilus zeamays pada jagung. Sebagai moluskasida, ekstrak minyak jarak pagar cukup berhasil untuk mengendalikan keong emas (Pomacea sp.) dan siput penyebar penyakit Schistosomiasis (parasit darah) yang banyak menyerang manusia di daerah tropis dan subtropis. Sebagai obat, minyak jarak pagar dapat digunakan untuk obat sakit kulit dan untuk meredakan rasa sakit karena reumatik.
Jarak pagar dapat tumbuh pada tanah-tanah yang ketersediaan air dan unsur - unsur haranya terbatas atau lahan-lahan marginal, tetapi lahan dengan air yang tidak tergenang merupakan tempat yang optimal bagi tanaman ini untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal. Bila perakarannya sudah cukup berkembang, jarak pagar dapat toleran terhadap kondisi tanah-tanah masam atau alkalin (terbaik pada pH 5,5 - 6,5) (Heller, 1996 ; Arivin et al., 2006). Selain itu, menurut Henning (2004) jarak pagar membutuhkan curah hujan paling sedikit 600 mm/tahun untuk tumbuh baik dan jika curah hujan kurang dari 600 mm/tahun tidak dapat tumbuh. Jarak pagar tumbuh baik di lahan kering dataran rendah beriklim kering (LKDRIK) dengan ketinggian 0-500 mm dpl dan curah hujan 300-1000 mm per tahun, suhu lebih dari 200C. Dalam perkembangannya, tanaman ini ditemui juga di lahan kering dataran rendah basa (LDKRIB) dan lahan kering dataran tinggi beriklim kering dan basah (LKDTIK/LKDTIB) sebagai pagar pekarangan rumah atau kebun. Perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara generatif menggunakan biji yaitu dari buah yang telah masak (berwarna hitam). Perbanyakan secara vegetatif dapat dilakukan dengan stek cabang atau batang, okulasi, penyambungan, maupun kultur jaringan. Bunga Jatropha curcas L mulai terbentuk pada umur 4-5 bulan dan berbuah setelah berumur 6-8 bulan setelah tanam (Hambali et al., 2006).
Jones dan Miller (1998) menyatakan untuk mendapatkan produksi yang baik pada tanah miskin hara dan alkalin, tanaman ini perlu dipupuk buatan atau pupuk organik/kandang, yang mengandung sedikit kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Sedangkan pada daerah-daerah yang kandungan fosfatnya rendah, penggunaan mikoriza dapat membantu pertumbuhan tanaman jarak pagar.

2.6. Inceptisols.
Inceptisol berasal dari kata inceptum yang berarti permulaan dan sols adalah solum (tanah) yang artinya perkembangan tanah pada tingkat permulaan. (Soil Survey Staff, 1999). Inceptisols mempunyai horizon permukaan dengan tebal 18 cm atau lebih, mengandung bahan organik > 1% dan mempunyai value <> 50% lebih dari tiga bulan, tidak keras dan tidak massif bila kering. Selain itu, mempunyai horizon bawah penciri yaitu horizon kambik dan terdapat air tanah 100 cm dari permukaan tanah mineral pada sebagian waktu selama setahun ketika tanah tidak membeku di beberapa bagiannya. Regim kelembaban tanah udik dan mempunyai satu atau kedua sifat berikut : (1) karbonat bebas dalam tanah, (2) kejenuhan basa (dengan NH4Oac) sebesar 60% atau lebih pada satu horizon atau lebih diantara kedalaman 25 cm dan 75 cm dari permukaan tanah mineral (Soil Survey Staf, 1999).
Struktur inceptisols adalah granular dengan kesuburan tanah rendah sampai sedang. Diantara agregat terdapat ruang yang menyebabkan ikatan struktur menjadi lemah (mudah rusak). Sifat umum inceptisols yang lain adalah reaksi tanah yang berkisar antara masam sampai agak masam. (Munir, 1994). Tanah Fluventic Eutrudepts mempunyai masalah reaksi tanah yang masam, adanya Al dan kisi mineral liat, ketersediaan P rendah dan pencucian hara tinggi (Munir, 1994). Tanah Fluventic Eutrudepts Jatinangor mempunyai reaksi tanah yang masam dan ketersediaan P yang rendah, mineral liat yang dikandungnya adalah bahan amorf (alofan) dan halosit (tipe 1:1), elevasi 754 m dpl dengan kemiringan lereng 0-15%, bahan induk abu volkan andesitik serta muka air tanah lebih dari 200 cm (Hardjowigeno, 2003).

Senin, 24 November 2008

Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang muncul berdasarkan gabungan kegiatan tanaman dan asosiasinya dengan komunitas mikroorganisme untuk menurunkan, memindahkan, menginaktifkan atau mengurang i bahan beracun di dalam tanah