Kamis, 26 Februari 2009



Mekanisasi Pertanian

Mekanisasi pertanian merupakan suatu penerapan dan penggunaan teknologi dengan menggunakan alat maupun mesin pertanian untuk meningkatkan hasil produksi yang berorientasi pertanian komersial (agribisnis), mekanisasi pertanian diimplementasikan pada masa pra-panen (budidaya/pengelolahan) maupun pascapanen (agroidustri). Secara histori, mekanisasi pertanian merupakan peninggalan “pertanian modern” pada masa revolusi hijau di dunia yang berkisar tahun 1960-an dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dunia akibat laju pertumbuhan penduduk yang besar. Revolusi hijau selain mekanisasi pertanian juga ada penggunaan bibit unggul, produksi pestisida dan pupuk kimia
Sebenarnya menurut pendapat saya, mekanisasi pertanian tidak berpengaruh secara langsung terhadap tingginya tingkat penganguran masyarakat tani. Tingkat penganguran justru harus dikaitkan pada sistem kebijakan pemerintah serta masalah keberpihakkan pemerintah terhadap kepentingan petani itu sendiri dan bukan pada implementasi mekanisasi pertanian. Walaupun secara tidak langsung, kita sadari bahwa mekanisasi pertanian telah menimbulkan pengangguran pada desa-desa tertentu di belahan bumi Indonesia, misalnya pengurangan tenaga kerja serta ketergantungan pada tenaga buruh tani di Timur Lorosae, yang biasanya menggunakan 400-500 tenaga penyortir jika dibandingkan dengan menggunakan mesin penyortir biasanya perusahaan pengolahan hanya menggunakan 150 tenaga penyortir. Hal ini memang menjadi dilematis tersendiri bagi perusahaan pengolahan, di satu sisi mereka ingin meningkatkan produktivitas melalui pemanfaatan alat dan mesin pertanian namun di sisi lain, perusahaan harus mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak jika tanpa menggunakan mekanisasi pertanian yang berakibat pada minimnya laba perusahaan. Mekanisasi pertanian tidak bisa dipandang dari sisi merugikan saja, dari sisi positifnya di beberapa daerah di Indonesia juga ada yang merasakan seperti di Propinsi Gorontalo, melaui bukunya Gubernur Gorontalo Dr. Fadel Muhammad “Reinventing Local Government” untuk menjadi daerah agropolitan, syarat pertama adalah pengembangan alat mesin pertanian berbasis sumber daya lokal dan adanya unit pelayanan jasa alsintan yang telah mapan. Hal ini pulalah yang menjadikan Propinsi Gorontalo sebagai penyumbang terbesar produksi jagung nasional dan ekspor. Jadi pertanyaan kita sekarang, apakah mekanisasi pertanian berakibat baik atau tidak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia? Hal ini bisa dijawab ketika kita melihat kapasitas dan kemampuan suatu daerah (otonomi daerah) dalam hal memenuhi akan kebutuhan mekanisasi pertanian itu sendiri.
Menurut data BPS (2007), hampir 63,52% penduduk miskin di tanah air menetap di pedesaan. Sementara itu pedesaan merupakan sentra pertanian tetapi pada kenyataannya sektor pertanian yang banyak digeluti penduduk Indonesia ternyata tidak memiliki kontribusi yang signifikan bagi Gross Domestic Bruto (GDP) dan kesejahteraan. Sektor ini justru berkontribusi besar bagi kemiskinan dan penganguran (inilah.com, 2007).
Penganguran di pedesaan berakibat pada kemiskinan “kronis” yang dialami para petani, menurut Dawam Raharjo (1995), ada tujuh faktor penyebab kemiskinan petani di Indonesia yakni pertama, kemiskinan disebabkan oleh kesempatan kerja (miskin karena menganggur atau tidak mempunyai kesempatan kerja); kedua, upah gaji dibawah standar minimum; ketiga, produktiitas kerja yang rendah; keempat, ketiadaan aset (misalnya petani miskin karena tidak memiliki lahan, dan tidak mempunyai kesempatan untuk mengolah lahan); kelima, diskriminasi, misalnya diskriminasi karena jenis kelamin dan kelas sosial masyarakat; keenam, tekanan harga (biasanya berlangsung pada petani kecil atau pengrajin dalam industri rumah tangga; dan Ketujuh, penjualan tanah (tanah yang potensi untuk masa depan kehidupan keluarga telah habis dijual). Jadi menurut saya permasalahaannya bukan pada mekanisasi pertanian tetapi pada hal-hal tersebut diatas. Justru mekanisasi pertanian di Indonesia yang banyak menghadapi kendala-kendala permasalahan yang berakibat pada terhambat produktifitas pertanian Indonesia. Permasalahan dalam pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia diantaranya :
1. Permodalan
Umumnya petani di Indonesia mempunyai lahan yang relatif sempit dan kurangnya permodalannya sehingga tidak semua petani mampu untuk membeli alsintan
2. Kondisi lahan
Topografi lahan pertanian di Indonesia kebanyakan bergelombang dan bergunung-gunung sehingga menyulitkan petani untuk pengoperasian mesin-mesin pertanian, khususnya mesin prapanen
3. Tenaga kerja
Tenaga kerja di Indonesia cukup melimpah. Oleh karena itu, bila digantikan dengan mesin, dikhawatrikan akan berdampak pada penganguran
4. Tenaga ahli
Kurangnya tenaga ahli atau orang yang berkompeten dalam menangani mesin-mesin pertanian
Solusi dalam mengembangkan teknologi dan alat dan mesin pertanian (mekanisasi pertanian) adalah :
1. Menyiapkan perangkat peraturan perundang-undangan tentang Alsintan
2. Menumbuhkembangkan industri dan penerapan alsintan
3. Mengembangkan kelembagaan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) yang mandiri untuk meningkatkan efisiensi penggunaan alsintan
4. Mengembangkan lembaga pengujian alsintan yang terakrditasi di daerah dalam rangka otonomi daerah
5. Mengembangkan alsintan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mengembangkan alsintan
Besarnya jumlah penduduk Indonesia berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja khususnya di pedesaan. Agar mekanisasi pertanian tidak menimbulkan efek domino (penganguran) di pedesaan, hendaknya setiap pemerintah daerah melalui otonomi daerahnya bersikap selektif dalam mengintroduksi penerapan teknologi pertanian dan tentu saja disesuaikan dengan kondisi agronomis dan karakteristik topografi daerah pertaniannya sedangkan untuk pemerintah pusat tidak hanya mengimpor mesin-mesin pertanian yang tidak tepat guna melainkan mencoba untuk memodifikasi mesin-mesin yang ada sesuai dengan kondisi lokal melaui lembaga pemerintah yang ada seperti LIPI, BBP Mektan dan intitusi perguruan tinggi, kemudian baru memproduksi sendiri untuk kebutuhan petani Indonesia dan peningkatan produksi mesin-mesin dalam negeri yang memiliki mutu serta kualitas standar serta melakukan proteksi terhadap produk impor melalui kebijakan tarif. Jadi pertanian Indonesia harus menganut azas mekanisasi pertanian selektif, yaitu mengintrodusir alat dan mesin pertanian yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Kebijakan mekanisasi pertanian haruslah merupakan kebijakan yang integral dengan kebijakan pembangunan pertanian menuju revitalisasi pertanian. Oleh karena itu, sebagi supporting sistem posisi mekanisasi pertanian harus kuat dalam menopang modernisasi dan sekaligus memberdayakan dan memihak kepada petani yang lemah dalam posisi tawar.
Kebijakan pengembangan mekanisasi pertanian harus mampu menumbuhkan (a) peningkatan produktivitas baik pada sumber daya lahan dan tenaga kerja (b) peningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, (c) peningkatan mutu produk dengan nilai tambah tinggi sehingga produk pertanian berdaya memiliki daya saing (d) mampu mendorong bertumbuh-kembangnya industri alat dan mesin dalam negeri secara efisien, dengan kualitas yang dapat diunggulkan, dan dapat dijangkau oleh petani, (d) mendorong kemitraan antara industry besar dan industri kecil pengrajin alsintan, sehingga terjadi harmonisasi dalam pendalaman industri yang saling menguatkan.

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar